Dimensi Keagamaan telah berubah. Gerak keagamaan tersebut melaju pada tataran dinamis sekaligus dilema. Dinamis, orang-orang kini begitu berkobar dalam menjalankan atau belajar agama. Dilema, dalam segi pencarian dan ajarannya sering berkontestasi dengan pemahaman yang dangkal, tidak ontentik, dan sering berada di pusaran paham ekstremisme.
Akar masalahnya adalah belajar agama cenderung di media sosial. Media sosial diangggap dunia yang paling nyaman dan efektif. Padahal media sosial adalah pispot baru yang keberadaannya menyimpan rimba-rimba kesesatan. Kalau tidak hati-hati, kita sering tercebur pada jurang ajaran paham kesesatan, konservatif, dan terorisme.
Sudah banyak peneliti yang menyatakan demikian. Orang-orang belajar agama di media sosial sering ditarik dan terdampar pada gubangan kekerasan. Bahkan, ironisnya mereka tidak sadar kalau mereka melaju di jalur menimpang dan ketidakilahian.
Al-Qur’an dan Islam telah mengajarkan bagaimana beragama dengan bijak. Ajaran-ajarannya digambarkan dengan baik dan mendalam. Rasulullah sebagai tokoh penggeraknya juga telah mencontohkan hal demikian. Beliau tidak letih mencari guru, menelaah nilai-nilai Islam secara mendalam. Begitu juga ketika ajarannya di implementasikan pada kehidupan diri dan sosial. Hingga akhirnya, tercipta kehidupan pribadi, sosial, publik yang harmonis.
Lebih jauh, Rasulullah beragama selalu mengedepankan maksud dan makruf. Ia selalu memandang kebaikan dan selalu mengerjakan dengan positif. Baginya, ajaran-ajaran saleh agama dimaksudkan untuk umat manusia secara keseluruhan. Karena itu, makruf harus dikedepankan daripada munkar. Kebaikan dikedepankan daripada keburukan.
Maka itu, kita menyaksikan bahkan merasakan dampak dari kerja keras keberagaman Rasulullah. Madinah yang dulunya berkecamuk akibat beda paham, kini ternikmati semua orang. Budaya-budaya sosial yang dulunya nir-kebijakan, kini sangat berderma sosial dan sungguh sangat penuh kebijakan-kebajikan. Ajaran agama yang dulunya sering dipakai sebagai alat kekerasan, kini ia menjadi alat solusi untuk menjadi dasar jalan keluar problem sosial.
Dengan demikian, Rasulullah adalah teladan. Dan jika sepakat dikata demikian, kita sebagai umatnya sangat dianjurkan mencontoh apa yang Rasul telah kerjakan-praktikkan.
Seni beragama Rasulullah adalah mencari jalan kebaikan dan pengasihan. Baik di jalan sosial dan mencari Tuhan. Tidak melulu selalu mengklaim dirinya yang paling benar dan merasa terbenarkan. Bahkan melakukan truth-claim terhadap apa yang mereka yakini sebagai kebenaran yang harus diikuti oleh pihak lain. Beragama, dakwah, dan segala lini kehidupan Rasululllah termenesfestasi dengan kesalehan dan kelembutan. Bukan paksaan.
Adalah kita sungguh menyimpang jika kita belajar, mengajar berdakwah agama, lebih lebih berjalan dan mengambil jalan paksaan apalagi kekerasan. Ironis yang sangat jauh dari perilaku nan contoh-contoh ajaran Rasulullah Tuhan. Bahkan hal demikian (bisa) di kutuk Tuhan.
Maka demikian, Ajaran Rasulullah menjawab semua apa hendak kita kerjakan dan apa yang menjadi kebuntuan daripada problem-problem sosial. Rasul dalam menyelesaikan problem selalu mengedepankan rasional, kebijaksanaan dan kemaslahatan semua orang. Beliau tidak pernah merasa yang benar dan karena itu Rasul mendapatkan keberhasilan.
Rasul selalu mempraktikkan musyawarah perihal masalah keumatan. Apa yang seharusnya dilakukan, diputuskan, dan dikerjakan bersama harus ditok dari hasil perundingan semua orang. Maka demikian, di depan dan di belakang semua orang merasa senang karena tercipta keadilan.
Ekspresi tersebut di dalam Al-Qur’an juga banyak ayat yang menyebutkan. Bahwa persoalan harus diputuskan dengan jalan musyawarah dan diputuskan oleh dari/ke/dalam keadilan. Sebagaimana dalam Qs.Al-Imran: 159: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaralah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”.
Sikap dan sifat yang lemah lembut dan pemaaf serta bermusyawarah dalam urusan kemasyarakatan baik tentang keagaman, sosial, maupun lainnya harus dilakukan. Sebagai makhluk sosial bermusyawarah adalah jalan memutuskan sebauah persoalan. Sebab, jika kita melakukan dan memutuskan persoalan tergesa-gesa justru membuat rencana yang tidak sejalan dan jauh dari keadilan. Maka ayat di atas memberi pesan pentingnya bermusyawarah dalam mencari jalan solusi untuk perbaikan-perbaikan.
Adanya musyawarah juga dapat memberikan sikap jiwa pemaaf dan hati yang lembut. Keputusan-keputusan yang dihasilkannya pasti menghadirkan rasa terima dengan lapang keikhlasan dan keadilan. Di sana keegoisan mati. Yang hadir adalah menghargai putusan bersama dalam rindang rendah hati.
Hal demikian hanya diperoleh jika kita saling tatap. Bertatapan muka atau bersilaturrahim dengan realitas (bukan media sosial) memberikan pengaruh berarti, yaitu meninggikan rasa keintiman sesama dan penghormatan. Juga tidak gampang terperosok pada pendapat-pendapat menyimpang atau disinformasi dalam persaudaraan.
Begitu juga dalam memperlajari Al-Qur’an. Kita tidak mungkin berjarak pada waktu dan guru. Sebab keduanya memiliki siginifikansi dalam laskar nilai kandungan, dan kebenaran Al-Qur’an bahkan untuk mengenali Tuhan. Al-Qur’an menuntut pembacanya berfikir kritis dan menekankan pada pengkajian yang mendalam lewat pengatahuan, akal, dan iman. Sudah pasti disini keberadaan guru dan murid dalam belajar agama dan Al-Qur’an menjadi niscaya ada.
Sungguh kita tahu pesan-pesan Al-Qur’an tidak mudah dipahami. Begitu juga ribuan ayat Al-Qur’an kadang terkesan saling kontradiktif dan ayat-ayatnya tidak tersusun secara kronologis mengikuti urutan pewahyuannya. Serta juga Al-Qur’an menggunakan bentuk bahasa Arab yang tinggi (fushha), bahasa yang sangat indah dan penuh daya gugah bagi pendengarnya. Dan untuk memahaminya perlu epistem, pendekatan dan meniscayakan pergumulan banyak dengan kata dan makna. Maka, bagi awam pasti tidak mudah untuk mencerna sebuah naskah yang serumit Al-Qur’an. Oleh sebab itu, kita butuh pembimbing untuk memahami Al-Qur’an kendati agar bisa mendalami ruh yang dapat menjiwai seluruh Al-Qur’an.
Dengan begitu, sebagai akibat dari bimbingan dan patronasi guru terhadap jalan belajar murid, murid akan menjadi pintar. Bisa merenungi Al-Qur’an, menelisik, dan memadukan bahkan memperteguh kandungan nilai Al-Qur’an terhadap realis kehidupannya. Karena itu, murid tidak bisa dilepaskan dari dari guru. Sebab, pembentukan sikap, sifat, pikiran melalui didikan dan tangan-pikiran dingin guru. Di sana ada pendidikan, didikan, keikhlasan, martabat, doa-doa, yang setiap saat dipanjatkan. Dan itu perlu ada dalam setiap ngaji Qur’an zaman ini. Sebelum ia melahirkan generasi “Muslim tanpa masjid, tanpa guru”.
Faridah Tri Nugraheni. Mahasiswa Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir IAIN Surakarta. Santri Kelas Kepenulisan HMPS 2020 bersama Agus Wedi.