MERETAS TAFSIR LOKAL: PRIBUMISASI ISLAM DALAM KARYA BAKRI SYAHID

Karya monumental Bakri Syahid, Tafsir Al-Huda, lahir dari kegelisahan intelektualnya terhadap minimnya literatur tafsir Al-Qur’an yang menggunakan bahasa Jawa sebagai medium utama. Dalam konteks tersebut, Bakri berupaya menjembatani kebutuhan masyarakat Jawa yang ingin memahami ajaran Islam secara mendalam melalui bahasa yang dekat dengan keseharian mereka. Upaya ini menunjukkan keberpihakan Bakri terhadap penguatan literasi keislaman berbasis kultural-lokal, sekaligus bentuk dakwah kultural yang inklusif dan kontekstual.

Tafsir al-Huda merupakan manifestasi semangat Bakri Syahid dengan menghadirkan kitab Tafsir Al-Qur’an dengan kepekatan nuansa sosial dan budaya melalui unsur bahasa Jawa yang digunakannya. Bakri menuliskna tafsir ini pada tahun 1970 sampai 1977 dan pertama dicetak tahun 1979 oleh percetakan Bagus Arafah.

Bakri Syahid lahir di Suronatan, Ngampilan, Yogyakarta, pada 16 Desember 1918 M. Tumbuh dan berkembang di lingkungan keluarga Muhammadiyah yang dikenal aktif dalam gerakan keagamaan dan sosial, Bakri sejak dini telah terbiasa dengan atmosfer religius yang kuat. Lingkungan ini turut membentuk karakter dan orientasi keilmuannya, khususnya dalam bidang tafsir dan pendidikan Islam. Kehadirannya sebagai mufassir yang menggunakan bahasa daerah menjadi sumbangan penting dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia, khususnya dalam upaya kontekstualisasi ajaran Islam ke dalam budaya lokal.

Antara Budaya Jawa Dengan Penafsiran Bakri Syahid

          Menurut Koentjaraningrat dalam Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, unsur kajian sosial-budaya meliputi tujuh hal, yaitu religi atau upacara keagamaan, bahasa, sistem teknologi dan  persatuan, organisasi kemasyarakatan, , pengetahuan, adat istiadat, dan cinta tanah air. Sebagaimana termanifestasi dalam kultur budaya Jawa yang sejalan dengan konsep ajaran Al-Qur’an. Al-Huda merupakan buah penafsiran tidak sekadar penerjemahan, tetapi merupakan upaya akulturatif yang mempertemukan nilai-nilai universal Islam dengan kearifan lokal Jawa. Dalam hal ini, Bakri Syahid memposisikan tafsir sebagai jembatan dialog antara teks suci dan realitas masyarakat, antara bahasa Arab Al-Qur’an dan nuansa batin kejawen yang penuh simbol dan filosofi. Melalui Tafsir Al-Huda, Bakri berhasil menghadirkan suatu model penafsiran yang kontekstual, membumi, dan mampu menjawab kebutuhan spiritual masyarakat Jawa yang sering kali merasa jauh dari wacana keislaman yang terlalu Arab-sentris.

Sistem religi dan Ritual Kegamaan Masyarakat Jawa

          Kejawen merupakan kepercayaan yang tumbuh dalam tatanan sosial masyarakat Jawa yang lahir dari proses akulturasi kepercayaan asli masyarakat Jawa dengan ajaran beberapa agama pendatang, yakni Hindu, Budha, dan Islam. Sebabnya dikenal terminologi Islam Kejawen, Hindu Kejawen, dan Budha Kejawen. Masyarakat Jawa yang berpegang kepada filsafat Kejawen cenderung patuh terhadap agama yang dianutnya. Hal ini menunjukkan keyakinan budaya Jawa atas Keesaan Tuhan, itulah inti filsafat Kejawen yang bersesuaian dengan dogma falsafahnya, yakni“Sangkan paraning dumadi”, atau dari mana dia datang, dan kembalinya kepada Tuhan.

          Konsep ajaran tersebut agaknya selaras dengan nash Al-Baqarah [2]: 156, yakni membicarakan hakikat manusia. Bakri Syahid tentang ayat tersebut menafsirkan: “Sanyata aku kabeh iki kagunganing Allah, lan aku kabeh bakal padha sowan katimbalan PanjenengaNe.” Ajaran Kejawen kemudian melahirkan ragam tradisi keagamaan. Seperti slametan, upacara larung sesaji, tumpengan, nyadran, dan lainnya. Geertz dalam Islam dan Kebudayaan Jawa menuturkan bahwa tradisi tersebut merupakan bentuk pengorganisasian masyarakat Jawa sehingga mendatangkan kenyamanan, kerukunan, ketentraman dan gotong royong.

Sistem dan Organisasi Sosial-Kemasyarakatan

          Budaya Jawa memiliki beberapa organisasi sosial. Paguyuban merupakan ciri khas masyarakat Jawa yang dibentuk berdasarkan kesamaan tujuan atau kepentingan, seperti paguyuban Karawitan, Ngesti Tunggal, Pedhalangan, Tari, dan sebagainya. Poin utama dari adanya paguyuban sebagai salah satu unsur organisasi sosial di Jawa ialah terbangunnya rasa kebersamaan dan kekeluargaan: “Lan sira padha nyekelana kalawan talining (Agama) Allah kang kukuh, lan sira aja padha pepisaha.” (QS. Ali Imran [3]: 103).

          Saling membantu: “Ananging sira becik padha tulung-tinulung ana ing tindak kebecikan, serta taqwa ing Allah… (QS. Al-Maidah [5]: 2), saling menghormati: “Lan sira padha dikurmati nganggo sawijining pakurmatan, banjur genthi padha ngurmatana sarana pakurmatan kang luwih becik…” (QS. An-Nisa’ [4]: 86).

          Toleransi: “He para manungsa! sayekti Ingsun wus anitahake sira kabeh saka wong lanang lan wadon, Ingsun banjur andadeake sira kabeh dadi pirang-pirang bangsa lan turunan, supaya sira padha wewanuhan weruh wineruh-an…” (QS. Al-Hujurat [49]: 13), dan lainnya.

Sistem Pengetahuan dan Mata Pencaharian Masyarakat Jawa

          Tatanan kebudayaan Jawa melahirkan sistem pengetahuan, salah satunya adalah dengan adanya kalender Jawa (pranata mangsa). Dalam jurnal Potret Pemikiran bertajuk Akulturasi Penanggalan Jawa Perspektif Islam dalam Kehidupan Para Petani tertulis bahwa sistem penanggalan ini digunakan sebagai pedoman perhitungan musim pertanian sebagai sumber mata pencaharian.

          Pranata mangsa merupakan bentuk pengetahuan masyarakat Jawa terhadap gejala alam semesta. Sistem ini berfungsi sebagai penanggalan musim yang didasarkan pada pengamatan terhadap fenomena alam seperti arah angin, intensitas hujan, suhu udara, dan perilaku tumbuhan serta hewan. Proses pengkajian dan penyusunan pranata mangsa didasarkan pada perhitungan yang cermat dan memerlukan waktu yang lama demi menghasilkan perhitungan yang sesuai. Melalui perhitungan yang teruji dan diwariskan dari generasi ke generasi, pranata mangsa dijadikan pedoman utama dalam menentukan waktu bercocok tanam, panen, serta aktivitas pertanian.

Bahasa Jawa Sebagai Media Komunikasi

          Dalam tatanan budaya, bahasa menempati kedudukan yang sentral.  Sebagaimana semangat bertata krama masyarakat Jawa dalam unggah-ungguh basanya. Bahasa ngoko sebagai simbol kekariban terhadap teman sejawat atau di bawahnya dan krama sebagai simbol penghormatan terhadap orang yang lebih tua, memiliki jabatan, atau belum dikenal. Al-Qur’an sangat menghargai dan mengakui keragaman bahasa, sebagaimana tafsiran Bakri Syahid atas QS. Rum [30]: 22 “Lan saka sawenehe ayat tandha yekti Kasamupurnaning KakuwasaNe Allah, yaiku tumithaning langit-langit lan bumi serta beda-bedaning basanira lan warnaning kulitira”.

Ragam Kesenian

          Budaya Jawa juga melahirkan kesenian yang beragam. Dalam tulisan Kesenian Tradisional Jawa memberikan rincian kategori kesenian Jawa berdasarkan periode, yakni klasik, tradisional, modern; dan berdasarkan jenisnya, yakni seni teatrikal seperti ludruk, tari seperti gambyong, dan musik seperti campur sari. Ragam kesenian yang tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, namun juga sarana deklamasi unsur sejarah dan nilai moral. Islam bukanlah agama yang membelenggu, ketika seorang muslim menghendaki keindahan dan kesenangan maka boleh ia menjangkaunya selagi dilakukan dengan cara yang benar (QS. Al-Baqarah [2]: 42).

          Tulisan ini mendatangkan kejelasan pentingnya menjaga hubungan sosial melalui unsur-unsur budaya yang ada dengan melandaskan diri kepada nilai Al-Qur’an. keharmonisan masyarakat Jawa yang tercermin melalui bahasa, tradisi kemasyarakatan, sosial, menjadi bukti bahwa budaya memiliki korespondensi yang erat dengan ajaran Al-Qur’an tentang ukhuwah (persaudaraan), ta’awun (tolong-menolong) dan adab (tatakrama). Dengan demikian budaya dapat bersinergi dengan ajaran Islam dalam membangun peradaban yang beradab. Maka, merawat budaya lokal sekaligus mengamalkan nilai-nilai keislaman merupakan wujud nyata cinta tanah air yang berdimensi spiritual dan sosial, sekaligus menjadi upaya kolektif dalam menjaga keutuhan bangsa di tengah tantangan zaman.

Kontributor: Ahmad Aqiel Azkiya’, S. Ag (Alumni IAT 2019)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *