Judul Buku: Rahayu Nir Sambikala: Refleksi Dosen IAIN Surakarta Selama #dirumahaja
Penulis: Abd. Halim, dkk
Penerbit: IAIN Press
Cetakan I: Juni 2019
Tebal: 200 halaman
ISBN: 978-623-93492-1-9
Ketidakjelasan berakhirnya pandemi Covid-19 ini telah merubah kebiasaan dan peradaban hidup manusia. Tapi fenomena itu, perlu diletakkan pada pandangan etis, lebih-lebih negara. Terjauhkan dari “kepentingan” dan diangkat menjadi apa yang disebut sebagai integritas dan modal sosial dengan memberi perhatian pada konsekuensi tindakan, tanpa mengabaikan pentingnya perlindungan kesehatan dan kebebasan ekspresi manusia.
Meyakini Covid-19 adalah sesuatu yang esensial terlihat dari proses dan tiadanya sikap otoritarianisme dan paksaan dalam mengambil keputusan. Sementara, praksisnya, itu perlu dijadikan kesempatan mewujudkan sesuatu yang dianggap bernilai: memartabatkan manusia dan menemukan peluang.
Apa yang penting dilakukan dalam situasi tak menentu ini dan bagaimana memulihkan dalam bentuk cara kreatif melawan atau sekadar bertahan di arus pandemi ini? Susur galur epidemi, kita membutuhkan pikiran-pikiran yang segar. Alternatif itu dicoba diidentifikasi dan dipotret secara reflektif-kritis dan terfokus atas realitas masyarakat termasuk dunia pendidikan dalam buku ini, Rahayu Nir Sambilaka: Refleksi Dosen IAIN Surakarta Selama #dirumahaja (IAIN Press, 2020).
Tinjauan atau refleksi etis yang diikat dalam nafas kajian ilmu keislaman akademisi ini bukan sekadar berakar dari ruang kerja atau meja kuliah, tetapi lebih pada bentuk empati yang mencerminkan pemikir tidaklah berjarak jauh dari realitasnya. Bagi saya, buku ini adalah salah satu rekaman catatan paling panoramik dalam membahas pandemi Covid-19.
Mencerna realitas dan perdebatan Covid-19 telah menjadi salah satu lokus di rel kajian intelektual Indonesia bahkan dunia. Baik pemikiran ekstrem, liberal, atau moderat. Tetapi, gagasan-gagasan yang hadir perlu memperoleh suntikan simpati sebagai momentum mengembangkan kualitas penalaran publik atas pilihan-pilihan tindakan. Menyadari wilayah dan ruang di mana kita hidup adalah milik bersama. Dan karena itu perlu dijaga bersama-sama dalam menghadapi pandemi dan resesi: ekonomi-demokrasi.
Islah Gusmian dalam artikel Pandemi Covid-19, Informasi Ilmiah, dan Solidaritas Kemanusiaan mengajak menilik kembali khazanah Nusantara yang diwariskan nenek moyang. Ketika terjadi bencana, secara kultural orang-orang Nusantara kendati selalu awas, rumangsa melu handarbani dan melakukan tiga laku utama: menjaga diri dengan berdoa atau islah (sangkan paraning dumadi), bersedekah dan memahami peristiwa pandemi bukan sebagai azab. Menurut Gusmian, tiga laku ini secara simbolik merupakan strategi tanggap darurat. Selain memosisikan informasi orang alim (para dokter dan pakar) sebagai episentrum utama penanganan gejolak epidemi (haalman. 123).
Perluasan wawasan dan informasi ilmiah perlu disertai kapabilitas untuk bergerak melakukan sesuatu yang penting bagi kemanusiaan. Kesadaran solidaritas sosial-global juga perlu lebih ditancapkan (lagi) dalam jaring pengaman sosial. Sebagaimana praktik kebudayaan Nusantara, yang secara kultural telah tertanam yang dikenal dengan istilah guyub, rukun, gotong-royong, dan gugur gunung.
Melihat keterpurukan sebagai deprevasi kelompok-negara, sudah pasti tidaklah memuaskan. Tapi semestinya, hal itu menjadi prinsip kita untuk mempertimbangkan aspek kemungkinan-kemungkinan yang lebih substanstif nan bermanfaat. Karena kita tahu, bahwa kerja virus sangat cepat daripada debat. Dan hal-hal yang diakibatkannya bukan sekadar terkait kesehatan, tetapi masalah agama, pendidikan, ekonomi dan sosial seperti hilangnya lapangan pekerjaan dan stres yang melanda masyarakat sebagai wabah ikutan.
Dalam konteks ini, produktifitas dan perluasan lingkup pengaman sosial menjadi kunci pilihan sebagai kewajiban etis bagi setiap individu. Karena mereka, para petugas medis yang berjibaku di garda depan dan masyarakat yang terhimpit ekonomi tak sepenuhnya kuat dalam menaklukkan medan. Imunitas bisa tumbuh, selain makanan yang bergizi dan vitamin yang cukup, tapi juga perlu terjaminnya aspek psikis, seperti perasaan yang tenang dalam menghadapi situasi. Dan karena itu pula kita semestinya bersedia berbagi daripada mengucilkan korban. Lebih-lebih yang minoritas: waria, difabel, penghayat dan sebagainya.
Secara spiritual, kearifan manusia mengajarkan bahwa Tuhan bisa ditemui bukan hanya dalam sunyi, tetapi dengan jalan berbagi. Jalan keasyikan suluk, dalam konteks situasi dampak corona (mitigasi krisis, dari sisi kesehatan maupun ekonomi), justru bisa ditemukan dalam aksi solidaritas kemanusiaan. Sebab, di dalam derma terdapat darma. Solidaritas sosial ini bisa dilakukan dalam bentuk membantu pada aspek ekonomi. Atau, dalam bentuk menjalankan protokol kesehatan dalam rangka mamutus sebaran virus yang belum ditemukan vaksinnya itu.
Mengaca pada fakta periodisasi sejarah menunjukkan ekses fenomenal, pertempuran melawan epidemi bisa dimenangkan lewat kerjasama sesama. Tetapi, bagaimana dengan pandemi abad ke-21 ini? Ahmad Saifuddin dalam Pandemi di Antara Inferioritas, Proporsionalitas Berfikir, dan Aktualisasi Diri menambahkan perspektif berbeda untuk memperoleh kekuatan sebagai modalitas hidup setiap orang menuju kemenangan.
Dari kasus penularan Covid-19 di Indonesia yang telah menembus angka psikologis 100.000 orang di penghujung bulan Juli, maka dengan sendirinya ekskalasi bahkan statistik kepanikan juga tinggi dan meninggi. Menurut Saifuddin, yang perlu diperhatikan selain rasional dan obyektif melihat permasalahan, kita semestinya membangun sinergi positif atau cammon sense.
Karena, gejala depresi atau kepanikan yang dialami anak-anak yang diperkirakan sekitar 40 persen (JAMA Pediatric, 24/4/2020), bisa jadi menyumbat kesehatan jiwa dan menurunkan kualitas SDM anak hari ini dan kedepan. Bagi Saifuddin, sesungguhnya tak ada pilihan lain kecuali didekati atau dipagari dengan strategi pengelolaan stres.
Mengutip Billings & Moos, 1981; Lazarus, (1966) dia menerangkan beberapa strategi guna mengelola stres. Di antaranya, emotion-focused coping yaitu strategi menstabilkan emosi. Misalnya, dengan menangis, relaksasi, dan katarsis. Kedua, Problem-focused coping dengan menfokuskan pada permasalahan penyebab stres sehingga mampu merumuskan solusinya. Ketiga, appraisal- focused coping, mengubah cara pandang dan pola pikirnya ke hal-hal yang positif. Termasuk, lanjutnya, stres dapat diatasi dengan memperbaiki pola komunikasi dan praktik cinta-kasih antara anggota keluarga di rumah (hlm. 157).
Artinya, dalam situasi pandemi Covid-19 saat ini, orang hendaknya tetap mencari karangka orientasinya. Sebab, kalau tidak, ongkos yang harus dibayar (karena stres terisolasi dan kehilangan pekerjaan) sangatlah banyak. Maka itu, mereka harus membangun hubungan antar pribadi yang lebih baik. Termasuk, mengalihkan tindakan negatif kepada tingkatan positif, seperti menjauhi gempuran berita negatif atau berita-berita ektrem lainnya.
Menyimak kompleksitas dampak pandemi ini, kita dituntut cerdas dan menyadari bahwa problem saat ini bukan hanya soal Covid-19, tetapi juga cara berfikir tentang Covid-19 itu sendiri. Akhirya, gagasan reflektif dosen IAIN Surakarta, mengajak kita terampil beradaptasi di tengah pandemi ini. Agar rahayu nir sambikala, terhindar dari marabahaya (*).
Agus Wedi
Mahasiswa Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir IAIN Surakarta. Tukang Sapu di Masjid Nurul Iman Surakarta. Aktif di Serambi Kata Surakarta.
*Tulisan ini pernah diterbitkan di Kabar Madura, 11/2020.