Zaman Simulacra; Bagaimana Cara Mencari Pencerahan?

Judul Buku: Menggali Spiritualitas Ramadhan: Syarah Renungan Rektor IAIN Tulungangung; Penulis: Maftukhin & Abad Badruzaman; Penerbit: IAIN Tulungagung Press, Juli 2020; Tebal: 235 halaman; ISBN: 978-602-5618-78-9

Membaca buku Menggali Spiritualitas: Ramadhan Syarah Renungan Rektor IAIN Tulungagung (2020), semacam memberikan oase pada getir kehidupan saat ini. Betapa tidak, di tengah virus corona yang semakin mewabah, kita diperlihatkan pada aneka ragam problem sosial dan gayutnya geopolitik nasional yang terpecah-pecah dan kian saling berkontestasi.

Kehadiran zaman simulacra yang semakin tampak yaitu zaman yang ditandai kekacauan subyek-subyek modern yang saling bersahutan dengan hal remeh-temeh kehidupan, adalah niscaya manusia membutuhkan udara hijau dan percik-percik pikiran yang segar. Salah satunya dengan menyerap renungan Maftukhin yang disyarahi Abad Badruzaman dalam buku ini.

Kita hidup di zaman yang semua tata kehidupan dikelola digital. Karena itu juga kita (manusia) sering diombang-ambingkan olehnya. Sumber-sumber informasi dan pengetahuan yang tidak jelas kredibilitasnya, begitu mudah mengontrol kesadaran kita. Sebaliknya, sumber-sumber pengetahuan yang otoritatif begitu sulit dibaca, dicerna, apalagi dilanjutkan menjadi refleksi dan pijak diri. Maka lahirlah seperti kata Maftukhin, pengkhotbah yang mabuk mendalami ilmu agama melalui sosial media, sehingga menyebabkan kericuhan ruang dan gerak sosial yang bising.

Apa masalahnya? Ada dua kemungkinan. Pertama, karya-karya yang dicipta oleh akadimisi moncer tanah air dan dunia sulit di dapat. Sehingga, mereka hanya meraba, melihat, memegang sekenanya narasi keilmuan-keilmuan yang tersebar di ruang publik. Entah kredibel, otoritatif, atau masyhur yang penting caplok. Kedua, publikasi karya ilmiah memang tidak bisa diserap oleh banyak komponen masyarakat. Sebab terlalu ketat teori, bahasanya tinggi dan lainnya. Menurut Maftukhin, keasyikan tanpa ujung dalam percepatan publikasi bahkan mengejar scopus bertingkat-tingkat Q, tanpa memikirkan ketidaklanjutannya agar produksi pengetahuan yang diperas oleh tetesan keringat itu, bisa mewarnai dan berdampak pada pengontrolan kesadaran masyarakat modern yang bingung atau Muslim tanpa Masjid ini.

Bukankah tren seperti itu adalah ambivalensi? Jelas. Maftukhin menggugat keras, “untuk apa memeras keringat dan berjibaku dengan penelitian dan publikasi, bila pada akhirnya produksi pengetahuan tersebut tidak memiliki dampak apapun bagi masyarakat yang sedang di mabuk hoaks dan pengetahuan palsu”. Suatu ke asyikan yang “basah” di menara gading. Bagi Maftukhin, fenomena masyarakat yang semakin cair tetapi rona keilmuan mandeg, dan akademisi yang semakin asyik dengan dunianya sendiri, adalah ambivalensi moderitas yang terus berlanjut saat ini (halaman, vi).

Menurut Maftukhin, ilmuan dan akademisi hari ini, harus dipaksa bergerak dan menjemput zamannya, atau tidak perlu menunggu kata-kata “iba” dan perstisius, sehingga tercatat dalam kerak ingatan manusia. Mereka (ilmuan dan akademisi) cukup bersedia berkompromi dengan zaman simulacra ini dengan tidak mengorbankan masyarakatnya terperosok jauh ke dalam dunia liquid. Cukuplah memanfaatkan segala perangkat canggih yang dimilikinya. Gawai dan internet misalnya.

Bagaimana caranya? Seperti yang dicontohkan Maftukhin ini. Yaitu melanjutkan hasil eksplorasi penelitian atau diskusi pengetahuan yang berkembang dalam kemasan baru lewat quote-quote pendek kemudian di share di dinding facebook, instagram, watshAp, dan lain sebagainya. Quote-quote baginya, tidak kalah pentingnya dari publikasi ilmiah. Sebab, itu adalah kristalisasi dari wawasan keagamaan yang mendapat sentuhan pendekatan akademik, refleksi filosofi atas fakta-fakta keagamaan, bahkan sebagian disarikan dari hasil-hasil kajian dan penelitian. Tawaran saripati hasil kajian dan penelitian yang dijadikan quote pendek dan terukur akan menjadi mozaik. Dan barangkali itu menjadikan sebagai rem atas caruk-maruknya narasi kotor yang berkembang di masyarakat.

Di tengah kebekuan nalar manusia kita membutuhkan siasat. Kreativitas kita harus bisa menyuguhkan wawasan yang dikemas dan tidak berjarak dalam bahasa zamannya. Bila tidak, banjir bandang dan virus-virus informasi hoaks dan paham ekstremisme yang terus disebar akan membuat manusia tersesat, dan menjadikan arus informasi itu sebagai penjara bagi dirinya. Kejadian itu yang kita tidak inginkan. Maka, bila demikian yang kita katakan, bolehlah hari dan selanjutnya memulai meski sekadar kata narasi pendek di sosial media.

Menjemput perubahan

Kerja homo sapiens dalam pengandaian Yuval Noah Harari adalah keterjalinan kerjasama yang terus berlanjut dan berubah di dalam riwayat kehidupan umat manusia. Tapi, bagaimana melanjutkan dan mencari solusi dari perubahan hidup dan zaman yang terus bergerak. Apa yang bisa kita rengkuh dari keterjumpalitan zaman itu?

Hidup seperti naik sepeda, kata Albert Einstein. Bila terus mengayuh atau membedal ia akan terus maju tapi apabila bisa mempertahankan keseimbangannya. Bila tidak pintar-pintar mengimbangi badan dan otot loyo, ia akan berhenti di persimpangan jalan. Perjalanan tak sampai dan selesai. Dunia mandek. Perubahan dari dan ke tidak berlanjut.

Gerak membawa perubahan. Dan diam tidak melahirkan apa-apa selain menciptakan stagnasi, kemunduran bahkan kajatuhan. Tetapi apakah semua yang bergerak berdampak baik bagi kehidupan? Bisa tidak, bisa iya. Apa yang dapat kita verifikasi? Kita sibak saja renungan Rektor IAIN Tulungagung ini, “Ciri utama kehidupan adalah perubahan, ciri utama perubahan adalah bergerak. Siapa yang bergerak dialah yang hidup, siapa yang  bergerak dialah yang menguasai kehidupan, siapa yang bergerak dialah yang maju. Siapa yang diam akan segera mati, siapa yang diam dia akan tumbang. Siapa yang diam meski hanya sedetik, maka dia akan tertinggal seribu tahu.” Hal demikian selaras dengan bunyi ayat QS Al-Ra’d: 11:.. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri…

Gerak perubahan bukan soal putaran zaman dan pergantian musim serta gerak otot dan jasad. Ia adalah gerak perubahan dari gerak nalar dan pikiran serta perbuatan menuju ke hal yang lebih baik. Gerak adalah bagaimana menyikapi dan mengisi dinamika waktu dengan sesuatu yang membawa perubahan: perubahan diri dan perubahan sekitar (masyarakat dan dunia semestanya).

Syarah Abad, keunggulan dan kemajuan sesorang atau suatu bangsa, cikal bakalnya adalah gerak. Sebaliknya, ketertinggalan dan kemunduran seseorang atau suatu bangsa, penyebab utamanya adalah diam. Basis fisik pun, gerak badan melahirkan kebugaran dan kesegaran, sedang diam menimbulkan kekakuan dan kerentanan terhadap penyakit. Akal nalar yang terus bergerak berpikir dapat diharapkan banyak melahirkan ide-ide perubahan dan kemajuan. Akal nalar yang diam (tidak mau berpikir) sudah dapat dipastikan tidak ada yang lahir darinya selain taklid buta dan ketertinggalan.

Kendati, sebuah masyarakat tidak dapat berubah maju jika segala pemahamannya (mindsetnya) dan kehidupan yang melingkupinya tidak dirubah. Struktur-struktur yang menguasai realitasnya baik ide, gagasan, lelaku tidak dirubah akan tetap “diam” di tempat bahkan tertinggal. Mereka yang mau merubah keadaan mereka adalah mereka yang mengubah diri mereka sendiri. Mereka yang mengubah diri mereka dengan segenap kehendak dan keluasan cakrawala yang mereka miliki.

Contohnya adalah negara-negara Eropa. Mereka maju bahkan menjadi negara adikuasa macam Amerika Serikat karena bangsanya bergerak mengubah. Bangsanya mau mengolah pikiran untuk menemukan identitas dan potensinya sendiri. Tetapi sekali lagi, apakah perubahan menjadi kunci bangsanya sehat secara psikologis dan sosiologis? Belum tentu.

Amerika Serikat sebagai negara terkaya di dunia masih melarat dalam menyejahterakan psikologis dan sosiologis warganya. Mereka justru menunjukkan simtom-simtom gangguan mental paling berat. Tujuan maju mereka hanya pada ranah hidup senang secara material, kestabilan demokrasi dan perdamaian. Tapi tidak pada gerak yang lain. Negara-negara yang maju (makmur dan kebutuhannya tercukupi bahkan terpuaskan) malah menunjukkan tanda-tanda kebahagian palsu yang bahkan kalau kita lihat punya penyakit mendasar: kebosanan.

Dari penyakit kronis kebosanan itulah meraka mencari jalan hidup lain yaitu alkoholisme, bunuh diri dan perilaku-perilaku patologis lainnya yang dipilih. Mereka mengganti tawanya yang asli dengan senyuman palsu, tutur kata komukatifnya diganti dengan  omongan tanpa makna, mencintai tetapi tanpa asmara, pertunjukan sikap kuatnya diganti dengan gerak robotif. Kehidupan kebudayaan seperti ini adalah kehidupan manusia dengan suatu cacat dan derita penyakit tanpa sakit. Negara dan bangsa super kaya masih punya derita kronis ini. Bagaimana dengan Indonesia?

Agus Wedi. Mahasiswa Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir IAIN Surakarta. Aktif di Komunitas Serambi Kata Surakarta .

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *