Wabah Covid-19 yang menjangkiti 3,94 juta jiwa di muka bumi nampaknya terus bertambah. Hal tersebut menyebabkan organisasi kesehatan dunia (WHO) menerapkan physical distancing(menjaga jarak dari orang lain) guna memutus rantai persebaran Covid-19. Dampak dari protokol tersebut adalah membuat segala bentuk kegiatan yang menyebabkan kerumunan di area publik seperti pasar, intitusi sekolah, hingga tempat ibadah, untuk sementara ditutup. Hampir semua kegiatan dilaksanakan secara daring (online) termasuk didalamnya adalah Ibadah dalam bentuk kajian dan ceramah keagamaan. Efeknya, akses Internet meningkat tajam, hingga 30 persen selama pandemi covid-19, termasuk akses YouTube, sebagaimana dilansir okezone.com, per Mei 2020.
Youtube memang menjadi pilihan bagi semua kalangan. Selain karena komplitnya konten yang disediakan, Youtube juga mudah diakses. Maka tidak jarang sebagian guru (termasuk juga dosen) yang memberikan pelajaran (kuliah) nya dalam jaringan Youtube. Terlebih lagi MomentRamadan yang banyak dilaksanakan Ngaji Posonan di beberapa pondok pesantren, dan beberapa agenda kajian dalam institusi lainnya. Banyaknya kajian yang ditawarkan oleh berbagai pihak, membuat kita berfikir untuk memilih mana kajian yang tepat.
Pada saat seperti ini, rasanya penting untuk menyimak nasehat sinuwun PB IV raja kasunanan Surakarta pernah memberikan tips bagi siapa saja yang hendak memilih guru dalam serat wulang reh. Saat serat ini ditulis, Youtube memang belum ditemukan. Akan tetapi, tips memilih guru ini nampaknya juga cocok diterapkan bagi seseorang yang hendak mencari channel yang tepat di berbagai platform digital termasuk Youtube.
Dalam Pupuh I, Dhandhanggula, Ayat 3, berbunyi “Jroning Kur’an nggonira sayekti, nanging ta pilih ingkang uninga, kajaba lawan tuduhe, nora kena den awur, ing satemah nora pinanggih, mundak katalanjukan, temah sasar-susur, yen sira ayun waskita, sampurnane ing badanira, punika sira anggegurua.”Secara ekplisit sinuwun menyampaikan anjuran bagi siapa saja untuk mencari guru. Sebab memahami kebenaran sangatlah tidak mungkin jika tanpa melalui guru. Guru merupakan sebab pemberi pelajaran serta menunjukkan jalan menuju kesempurnaan hidup sampai mati, ialah yang menyalakan obor pada hati di saat gelap dan membawa kita ke jalan kemuliaan.
Selanjutnya Pupuh I, Dhandhanggula, Ayat 4, berbunyi “Nanging yen sira ngguguru kaki, amiliha manungsa kang nyata, ingkang becik martabate, sarta kang wruh ing kukum, kang ngibadah lan kang ngirangi, sukur oleh wong tapa, ingkang wus amungkul, tan mikir pawewehing liyan, iku pantes sira guronana kaki, sartane kawruhana.”Pada tembang ini terdapat kritera ketika memilih guru, yakni pilihlah guru yang sebenarnya (jelas ilmu dan asal-usulnya); tinggi martabatnya (menjaga wibawa dan menyampaikan nasehat tanpa berbicara kotor); memahami kedudukan hukum (seperti misalnya mengetahui kedudukan dan kualitas sebuah hadis untuk dijadikan sebagai hujjah); dan rajin beribadah. Lebih bagus jikamenemukan orangpertapa yang tekun dan tidak mengharapkan imbalan orang lain, yang seperti ini pantas dijadikanguru.
Pada redaksi :sarta kang wruh ing kukum, pada hari jumat (8 Maret 2020/15 Ramadhan 1441 H), masyarakat digemparkan seorang penceramah di Youtube menyampaikan Hadis Maudhu (palsu) yang berisi tentang terjadinya huru-hara asap dukhan (kiamat) yang akan melanda Jum’at 15 Ramadhan tersebut (silahkan check hadis tersebut di laman lain). Penyampaian Hadis palsu ini sontak membuat beberapa masyarakat muslim yang awam lantas dengan mudah mempercayainya kemudian khawatir. Sebagaimana diberitakan detiknews.com, bahwa terdapat setidaknya 52 Warga Ponorogo pindah ke Malang karena Isu Kiamat. Hal ini wajar bagi muslim awam ketika termakan oleh isu apalagi dibawa dengan keterangan Hadis yang menyatakan isu kiamat. Maka disinilah peran masyarakat muslim khususnya penyimak Youtube untuk memilih penceramah untuk dijadikan guru secara tepat, alias tidak asal asalan. Apalagi dalam dalam redaksi tan mikir pawewehing liyan,yang bertujuan mencari viewersbanyak sehingga memunculkan pundi penghasilan.
Selanjutnya di dalam Pupuh I, Dhandhanggula, Ayat 5, “Lamun ana wong micareng ngelmi, tan mupakat ing patang prakara, aja sira age-age, anganggep nyatanipun, saringana dipun baresih, limbangen lan kang patang, prakara rumuhun, dalil qadis lan ijemak, myang kiyase papat iku salah siji, anaa kang mupakat.“.Dalam tembang ini terdapat nasehat bahwa bila seseorang berbicara tentang ilmu, tetapi tidak sesuai dengan empat hal, janganlahcepat dianggap sebagai kebenaran. Saringlah agar bening dan ukurlah dengan empat hal, yaknidalil, hadis, ijmak, dan qiyas. Salah satu dari keempat hal itu harus ada yang sesuai”. Pada nasehat ini, kita kemudian teringat dengan seorang penceramah yang memiliki banyak viewers juga di Youtube, namun hanya mengandalkan terjemahan sehingga menghasilkan penafsiran yang salah. Seperti penafsiran wa wajadaka dlallan fa hada ditafsirkan dengan, ‘dan Allah menemukan kanjeng Nabi dalam keadaan tersesat, maka kanjeng Nabi dapat hidayah’. Secara terjemah Kanjeng Nabi pernah tersesat. Hal ini sangat menyalahi kaidah dalam penafsiran al-Qur’an, sebab kanjeng Nabi adalah Nabi yang maksum sehingga penafsiran semacam itu menjadi ambigu. Jika dilihat dalam asbabun nuzul dan beberapa tafsir para ulama, ayat itu bermaksud pernah suatu hari tersesat di lereng gunung, sehingga diberi keselamatan oleh Allah, jadi bukan tersesat dalam bidang akidah.
Yahya Ayash, Mahasiswa Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir IAIN Surakarta