Minggu pagi. Mestinya saat rehat di rumah. Tapi, istri saya tetap berangkat ke kantor untuk mendampingi masyarakat yang melakukan pencegahan wabah Covid-19. Bagi para petugas medis, situasi kali ini adalah saat yang melelahkan. Berjibaku dengan risiko mati, membantu masyarakat agar bisa keluar dari wabah yang mematikan.
Setiap pulang kantor, di malam yang semestinya kita rehat, istri saya cerita soal nasib dan perasaan kawan-kawannya, pekerja medis di kantornya yang maju di medan laga. Mereka berada di garda depan, tanpa berdebat soal politik dan doktrin agama. Mereka menghadapi pandemik yang dahsyat yang mereka sendiri belum sepenuhnya siap dan kuat, karena pasukan pleton yang terbatas, sedangkan pasukan Corona bergerak cepat tanpa rehat.
Malam yang mestinya kita manfaatkan untuk rehat, kita masih juga mendampingi dan memastikan tugas daring anak-anak benar-benar diselesaikan dengan baik.
Hari ini, melalui media sosial kita mengerti, sejumlah pekerja medis telah gugur saat menghadapi pasukan virus Corona. Dari segi umur, mereka masih muda. Tapi mereka tetaplah manusia: bisa stress, capek, dan kelelahan, sehingga daya tahan tubuhnya melemah dan virus Corona justru dengan mudah melumpuh-matikannya.
Hari ini, di grub-grub WA masih saja orang sibuk berpolemik soal politik dan doktrin agama terkait dengan virus Corona. Andai saja, energinya yang meluap ini dialihkan untuk membantu tetangga dan masyarakat yang terdampak akibat kebijakan penangkalan Corona, tentu akan lebih berguna.
Saatnya kini, setiap orang menyadari pentingnya berbagi, ambil sikap nyata, bukan sekadar ‘padu’ dalam diskusi, apalagi salingmemaki. Saatnya para pemimpin jadi pemandu.
Di era teknologi sekarang, kata Harari dalam artikel terbarunya “In the Battle Against Coronavirus, Humanity Lacks Leadership”, salah satu jalan yang bisa menjadikan kita menang atas wabah ini adalah berbagi informasi. Kemanusiaan telah memenangkan perang melawan epidemi-epidemi karena pertempuran antara parasit dan dokter. Parasit mengandalkan mutasi buta, sedangkan dokter mengandalkan analisis informasi ilmiah.
Di dalam sejarah kita tahu, ketika kasus Black Death melanda umat manusia pada abad ke-14 M, lanjut Harari, kita tidak mengerti apa penyebabnya dan apa yang bisa dilakukan untuk mengatasinya. Hingga pada era modern, manusia biasanya menyalahkan penyakit pada dewa yang murka, setan jahat, atau udara buruk, dan tidak mencurigai adanya bakteri dan virus.
Ketika itu, lanjutnya, orang-orang percaya pada malaikat dan peri, tetapi mereka tak bisa membayangkan bahwa setetes air mungkin berisi virus pemangsa yang mematikan. Oleh karena itu, ketika Black Death tiba, hal yang dipikirkan oleh pihak yang berkuasa ketika itu adalah mengorganisir doa massal. Sialnya, ketika orang-orang berkumpul secara massal untuk acara itu, sering justru jadi penyebab penularan massal.
Terhadap kasus semacam ini, pada awal abad 9 H, Ibnu Hajar Al-Asqalani, telah memberikan fatwa bahwa kegiatan kumpul massal, meski untuk berdoa, ketika manusia dilanda wabah, hukumnya bid’ah. Kita bisa membaca narasi pemikir muslim ini dalam kitabnya berjudul,
بذل الماعون في فضل الطاعون
Kini, selama satu abad terakhir, para ilmuwan, dokter, dan perawat di seluruh dunia mengumpulkan informasi dan secara bersama-sama berhasil memahami mekanisme di balik epidemi dan cara melawannya. Genetika kata Harari telah memungkinkan para ilmuwan menelusuri instruksi manual patogen/parasit. Masyarakat abad Pertengahan tidak pernah menemukan penyebab Black Death. Tapi saat ini, hanya butuh waktu dua minggu bagi para ilmuwan untuk mengidentivikasi virus Corona baru, mengurutkan genomnya dan mengembangkan tes teruji untuk mengidentifikasi orang yang terinfeksi.
Begitu para ilmuwan memahami tentang penyebab wabah, lanjut Harari, maka kita akan lebih mudah untuk melawannya. Vaksinasi, antibiotik, peningkatan kebersihan, dan infrastruktur medis yang jauh lebih baik telah memungkinkan umat manusia untuk unggul dari predator yang tidak terlihat tersebut.
Di tengah dunia yang telah dilipat, tak berbatas, serta berbagai jenis transpotasi telah menyatukan antar benua dan negara, kita perlu memahami pesan Harari. Kini, yang diperlukan sebagai perlindungan adalah berbagi informasi ilmiah yang teruji dan solidaritas global. Karena ketika satu negara dilanda epidemi, ia harus bersedia untuk secara jujur berbagi informasi tentang wabah tersebut, tanpa takut bencana lanjutan, baik bencana ekonomi maupun sosial. Dan negara-negara lain harus mempercayai informasi tersebut, dan harus bersedia memberikan bantuan daripada mengucilkan para korban.
Falsafah nusantara telah memandu kita saat wabah tiba melalui beragam simbol. Pertama, kita harus memberikan perhatian yang lebih dan fokus pada keluarga dan masyarakat, saat wabah tiba. Sebab, kerja virus ini sangat cepat dan melakukan aksi pada subjek-subjek yang paling dekat. Ini adalah bentuk langkah preventif yang bersifat sosial.
Tapi yang dibutuhkan kita sekarang bukan hanya soal physical distancing yang bersifat fisik antar manusia, tetapi bagaimana para ahli klinis bisa menemukan cara baru, selain soal imunitas tubuh, yaitu bagaimana virus Corona itu diisolasi sehingga penyerangannya atas manusia terhalang. Bila prinsip ini ditemukan kita bisa menyelamatkan lebih banyak manusia.
Kedua, dalam hitungan hari ke depan, sekarang yang diperlukan adalah solidaritas sosial kemanusiaan. Disadari bahwa wabah Corona pada akhirnya secara sosial juga akan menyerang kemanusiaan kita. Dalam konteks masyarakat Indonesia, yang tradisi, kultur serta kelas ekonominya beragam dan berbeda-beda, kebijakan lockdown dan physical distancing tampaknya tak sepenuhnya segera ditaati. Ada yang tak takut virus Corona karena alasan teologis dan tak sedikit juga yang karena alasan ekonomi.
Di hari-hari ke depan, akan ada banyak korban, yang mula-mula disebabkan oleh kedua faktor tersebut. Yang pertama, tidak menyadari bahwa Tuhan telah menitipkan sunnah kebijakan-Nya dalam hukum fisika, sedangkan yang kedua karena faktor tak ingin mati kelaparan. Kedua faktor ini membutuhkan cara penanganan yang berbeda. Dan yang ketiga, banyak masyarakat kita yang cuek, karena ketidaktahuannya, atas bahaya virus Corona ini.
Ketiga, imunitas bisa ditumbuhkan, selain gizi dan vitamin yang cukup, juga melalui aspek psikis. Yakni jiwa dan perasaan yang tenang, serta membuang jauh sikap panik dan tidak mengeluh. Bagi masyarakat religius, kondisi ini bisa diciptakan dengan menyadari keagungan titah Tuhan. Pasrah setelah berusaha secara maksimal. Dan menemukan Tuhan dengan jalan berbagi dan saling menolong kepada sesama. Jalan keasyikan spiritual dalam situasi wabah Corona justru bisa ditemukan dalam aksi solidaritas sosial kemanusiaan.
Keempat, menjadikan orang alim dan saleh sebagai episentrum dalam menyusun penanganan. Dalam soal virus Corona, orang alim itu adalah dokter. Kita seharusnya patuh pada intruksi dokter dan para pekerja medis. Sebab, mereka adalah “mujahid” di garda depan dalam menangani wabah ini. Bila masyarakat tidak patuh pada komando komandan yang mengerti medan pertarungan, akan ada lebih banyak korban berjatuhan.
Walhasil, menghadapi wabah ini, kita tak perlu jadi ateis, hanya karena mematuhi komando dokter dan logika sains ilmiah. Sadarilah bahwa kepongahan ateisme tak mampu memahami sepenuhnya misteri kematian. Juga kita tak perlu terjerumus pada kepasrahan buta akan titah Tuhan. Karena, kita sering tak menyadari bahwa Tuhan telah menaruh kuasa-Nya dalam sunnah fisika.
*Islah Gusmian: Dosen IAT dan Dekan Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Surakarta
Artikel ini juga dimuat di: https://alif.id/read/ig/virus-corona-keagamaan-dan-kemanusiaan-kita-b227368p/
Photo: https://news.detik.com/berita-jawa-timur